Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
(18+)
Deritan suara besi-besi kereta kasar terdengar dan berusaha mengisi kekosongan yang mungkin masih tersisa dalam pikiranku. Kaca di samping wajahku kadangkala menampilkan raut termanguku. Langit begitu gelap dengan beberapa kali rentetan cercahan sinar lampu berwarna-warni mengganggu pandanganku ke arah bintang yang gemerlap. Legenda bintang timur.
Aku sudah lelah dengan legenda itu. Legenda tentang manusia yang menuntun manusia lain dan melindunginya. Dan, legenda itulah yang membawakan kisah paling menyebalkan sekaligus menyakitkan pada hidupku, tentu saja setelah terlahir sebagai keturunan suku Pengendali, suku yang dianggap sebagai yang terhormat, yang wajib untuk dihormati, sekaligus untuk ditakuti. Apalagi setelah aku mengetahui bahwa aku berhasil menjadi pengendali darah.
---
Lampu malam di asrama telah dimatikan sebagian besarnya. Hampir seluruh siswa telah tidur di kamarnya masing-masing. Sisanya, ada yang berlatih pedang, ada yang berlatih sihir, ada yang hanya tertidur di taman atap Gedung Asrama Utama, dan ada yang memilih untuk sekadar menyepi di dalam perpustakaan, sepertiku di salah satu ruang baca dari kayu yang di beberapa ujungnya mulai lapuk dimakan usia. Ruang baca yang meskipun dingin karena lembab, tetapi aku menyukai aromanya yang membuatku betah membaca semalaman.
Malam itu, sepertinya seperti malam yang lain. Buku-buku pengendalian, buku-buku tentang hewan mistis, buku tentang sihir, buku tentang matematika, buku tentang alkemi tersusun rapi di hadapanku untuk kuulang lagi ingatanku akan ilmu yang mereka sampaikan. Akan tetapi, aku salah. Malam itu terlalu sepi hingga sekilas kudengar langkah kaki bergerak bersamaan dengan nafas yang terengah. Aku mendengus, kusangka ada yang mesum di perpustakaan malam-malam.
Pintu kotak tempatku membaca tiba-tiba membuka dan menutup dengan cepat, bahkan lebih cepat dari kedipan mataku. Seorang gadis dengan tegas menatapku sambil meletakkan telunjuk rampingnya di ujung hidungnya yang lancip, bahkan sebelum aku dapat mengatakan apapun. Setelannya bukan setelan siswa akademi, alih-alih memakai kemeja panjang agaknya berwarna gelap dan putih, serta celana panjang dari kulit berwarna senada.
Kupejamkan mata dan menegangkan seluruh indera yang lain. Dahiku mengerut. Di depan kotak bacaku ada seorang ksatria penjaga. Sedikit terengah dan bulir-bulir keringat memenuhi dahinya. Gadis ini sepertinya telah membuat masalah. Kubuka mataku dan kudengar sayup-sayup langkah kaki menjauh. Namun, mataku terbelalak, gadis itu duduk di sampingku. Wajahnya disandarkan pada lengan kanannya, menatapku dengan lekat.
“Wow, kamu menarik sekali. Kamu pengendali air yang sangat menarik.” Bibir gadis itu tersungging senyuman, lalu mengulurkan tangannya. “Aku Alea. Aku belajar alkemis. Kamu siapa?”
Kurasakan alisku terangkat. “Tapi seragammu lain. Siapa kamu sebenarnya?”
“Sudah kubilang namaku Alea. Alea Evelynn. Aku sungguh-sungguh belajar alkemis, tetapi bukan di asrama ini. Aku dari luar gerbang. Aku ke sini karena ingin mencari sebuah buku.”
“Buku? Buku macam apa?”
“Buku tentang pengendalian darah dan pikiran,” jawabnya dengan tetap memasang senyum di bibirnya.
Kugelengkan kepalaku. “Tidak ada buku semacam itu di sini. Kamu-“
“Tidak. Ada buku semacam itu di sini. Kamu hanya belum pernah melihatnya.”
“Aku sudah membaca seluruh jenis buku tentang pengendalian. Khususnya tentang pengendalian air dan turunannya. Dan, tidak ada yang namanya pengendalian DARAH!” tegasku nyaris membentak kalau jari telunjuk gadis itu tidak segera menempel di bibirku. Dadaku serasa bergemuruh. Darahku bergolak.
“Kamu hanya belum pernah menemukannya karena itu buku terlarang.”
“M-maksudmu?”
“Apakah kamu pernah mencarinya di wilayah terlarang?”
“Tidak ada wilayah terlarang di sini. Terlarang hanya apabila kamu tidak bisa membuka akses ke wilayah tersebut atau membuka segel atas buku itu.”
Gadis itu mengusap dagunya. “Jadi maksudmu perlu akses khusus?”
Aku menggeleng. “Sudah cukup informasinya. Pergilah. Kembalilah ke rumah. Malam sudah sangat larut. Aku pun juga akan kembali ke kamarku.” Kututup semua buku di hadapanku dan kususun di sisi meja.
“Oke, baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Terima kasih atas bantuannya. Sampai jumpa lagi.” Dia beranjak dari posisinya sedari tadi dan membuka pintu kamar baca dengan perlahan. Mengintip sejenak dan menatapku lagi. Senyumnya lagi-lagi mengembang sambil melambaikan tangannya.
“Kurasa kita akan bertemu lagi,” kata gadis itu sambil berjingkat pelan keluar dari bilik baca.
Aku melenguh pelan, “Kurasa kita TAK akan bertemu lagi.”
Aku bangkit dari kursi yang telah kududuki sejak matahari terbenam, dan keluar dari bilik baca yang seakan hanya dipakai olehku. Entah bagaimana tidak ada yang berani memakainya, bahkan saat siang hari. Kegelapan perpustakaan sudah biasa bagi mataku. Kesunyian telah menjadi kawan bagi indera pendengaranku. Aroma buku dan kertas lama yang khas telah menjadi candu untuk indera penciumanku. Kususuri satu demi satu rak berisi buku-buku yang sebagian besarnya telah kubaca. Sebagian yang tidak bisa kubaca karena dikunci dengan ilmu pengendalian dengan elemen lain. Ada juga yang belum bisa kubaca karena sepertinya pengendalian airku tidak diakui oleh pengunci buku itu.
…kamu hanya belum pernah membacanya…
Suara gadis tadi tiba-tiba kembali terngiang di kepalaku. Aku mulai ragu. Jangan-jangan gadis itu benar?
Kuhentikan langkahku menuju pintu keluar.
Sial. Kata-kata gadis aneh itu sudah mempengaruhi keingintahuaanku. Lagipula bagaimana dia tahu kalau aku pengendali air?
Aku mendengus pelan. Kutimbang seluruh pilihan yang kumiliki dan risiko yang mungkin akan timbul. Lalu, badanku berbalik arah menuju rak-rak yang kuingat ada buku yang aku tidak bisa membukanya. Kutelusuri jajaran buku-buku dan mataku dengan aktif mencari judul yang sekiranya dimaksud oleh gadis tadi.
Pengendalian darah? Dan pikiran? Kenapa dijadikan satu? Darah kan cairan. Jangan-jangan juga pengendalian turunan?
Sudut mataku menangkap beberapa bayangan melintas di beberapa rak di hadapanku. Refleks aku bersembunyi di balik rak terdekat sambil terus mengawasi gerak gerik bayangan itu. Mungkin aku terlalu fokus sehingga tak menyadari tepukan halus mendarat di pundakku. Aku terhenyak, hampir-hampir mengeluarkan perisai es sambil memasang kuda-kuda. Penepuk itu terjatuh terduduk sambil melambaikan tangannya. Gadis aneh itu lagi!
“Sedang apa kamu di sini?” bisikku. Senyumnya berubah sedikit kecut kali ini.
“A-aku tidak bisa keluar dari perpustakaan ini. Belum bisa,” jawab Alea sambil bangkit dari posisinya.
“Kenapa belum bisa?” bentakku.
Dia terdiam. Cukup lama hingga kudengar langkah lain mendekat ke posisi kami.
“Oke. Kurasa kita harus menyingkir dari sini. Para penjaga sedang kemari. Tapi aku ingin jawaban. Tak ada yang ditutupi.” Kugamit tangannya, lalu bergerak menjauhi gerakan penjaga. Dia mengangguk lemah.
Setelah kurasa agak jauh, sembari berdiri menghadap rak-rak yang memberikan aroma jamur buku tua, kutatap mata coklat gadis itu dengan lekat. Mata itu sedikit bergetar. Dia ketakutan!
“Jadi, rahasia apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Kulihat beberapa bulir keringatnya mengalir dari dahinya menuju bagian gelap di bagian dadanya yang tampak lebih menyembul dan naik turun seperti tak beraturan. Nafasnya terdengar begitu cepat seolah kudengar juga detak jantungnya. Pipinya sedikit bersemu merah senada dengan warna bibirnya yang kemerahan. Telapak tangannya berada di dadaku seakan menjaga agar tubuh kami tidak menempel.
“K-ka-kamu tidak bisa agak menjauh? Kita terlalu dekat. Wajahmu juga-” Dia mendesah lembut, lalu berbisik, “-tampak terlalu tampan.”
Aku tertegun. Sebuah kecupan lembut tiba-tiba mendarat di bibirku. Kutatap erat mata yang tadi tampak bergetar ketakutan entah mengapa berubah menjadi sendu.
“Apakah kamu berusaha untuk menggodaku, Alea?”
Dia menggeleng lembut.
“Aku hanya menciummu. Namun, aku kecewa. Aku tidak mendapatkan ciuman pertamamu,” balas Alea. Aku mendengus.
“Aku juga kecewa karena itu juga bukan ciuman pertamamu.” Aku terdiam sejenak.
Sial! Perasaan apalagi ini!
“Baiklah, aku akan membantumu. Namun, aku menginginkan jawaban, bukan ciuman. Apabila kamu ternyata tidak seperti yang kukira, kupastikan kamu akan menyesal,” balasku tegas.
Kutarik lengannya menjauh dari rak dan turut mencari buku yang mungkin dimaksud olehnya. Kami susuri seluruh Bagian Pengendalian Air, tetapi langkah kami terus terjaga dengan langkah kaki lain di Aula Perpustakaan ini. Tanganku terus berjaga ke depan, memasang sihir air cahaya, air yang dapat berpendar dalam gelap.
“Kami tidak dapat menemukan pengunjung gelap itu, Tuan.”
Sebuah suara serak tiba-tiba terdengar saat kami akan berpindah ke bagian lain perpustakaan. Langkah kami langsung terhenti. Aku berusaha mengintip dari balik rak, tampak dua orang penjaga dan seorang lagi dengan jubah gelap yang menjuntai tanah, seorang guru pengendalian.
“Bagaimana bisa? Katamu dia hanya sendirian. Bagaimana mungkin bisa menghilang begitu saja?”
“Kami juga tidak tahu, Tuan Baruna. Gadis itu bergerak sangat cepat. Hanya saja dengan radar bumi, saya yakin gadis itu masih ada di sini,” jawab salah seorang penjaga.
“Mengapa tidak kau gunakan radar bumimu untuk mendeteksi lokasi tepat di mana penyusup itu?” ketus Baruna.
“Tenaga saya tidak cukup kuat untuk mendeteksi dengan ketepatan seratus persen, Tuan. Tadi saya sudah mencoba mendeteksi keberadaannya dengan ketepatan tertinggi yang saya bisa, sewaktu kami sudah akan meringkusnya, dia menghilang.”
“Di mana itu?”
“Di depan barisan bilik baca para siswa.”
“Sudah kalian periksa satu persatu?”
“Kami dilarang untuk membuka bilik siswa, Tuan. Peraturannya, kami dilarang mengganggu para pengunjung perpustakaan yang kemungkinan masih berada di dalam bilik.”
Baruna tampak terkesiap lalu memegang dahinya, “Bahkan apabila keselamatan Akademi sebagai taruhannya?”
Para penjaga mengangguk perlahan.
“Mari kita kembali ke bilik baca siswa. Aku yang bertanggung jawab.” Baruna dan para penjaga itu bergegas pergi. Aku menoleh ke arah Alea. Dia sedang berjingkat-jingkat dan berusaha meraih buku yang berada di rak paling atas.
“Kenapa?” bisikku pada Alea sambil mendekatinya.
“Kurasa buku yang kucari ada di atas sana,” tunjuknya, “Kadang aku benci menjadi seorang yang pendek.”
Gadis itu menggembungkan pipinya. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak tersenyum saat melihat tingkahnya dengan mengalihkan pandangan ke arah telunjuk gadis itu tadi. Des Balad ner Centero beheers: Mestara el Kugutsuru? Pengendalian Darah dan Pikiran: Sang Puppet Master?
Kualirkan sebagian tenaga dari dalam tubuhku untuk mengumpulkan serpihan-serpihan uap air dan menjadikannya menjadi semacam tali laso dan berusaha menarik buku itu. Namun, jalinan tali air yang kulempar menghilang setiap kulempar ke arah buku itu seakan ada medan pelindung pengendalian di sekitar buku itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Alea. Kurasa dia mengira aku sedang kebingungan.
“Buku itu seperti memiliki perisai pelindung pengendalian. Sepertinya kita harus mengambilnya dengan cara tradisional.”
“Maksudmu?”
“Mengambilnya secara langsung, Alea. Tetapi aku pun tak dapat menggapainya dengan ketinggian seperti itu.”
“Bagaimana kalau kamu membuat semacam tangga? Atau lebih baik kita mengambil tangga?”
Kupejamkan mata untuk mencoba merasakan getaran uap air di udara. Terlalu halus dan kurasakan bahwa Guru Baruna beserta para Penjaga sepertinya sudah selesai memeriksa semua bilik baca dan sedang menyusuri berkas perjalanan kami.
“Kurasa tidak bisa keduanya, Alea.” Aku menggeleng dan terdiam sejenak untuk menimbang kalimat berikutnya. “Sepertinya, aku harus memanggul-mu di bahuku.”
Pipi Alea tampak memerah. “Kita memang sudah berciuman, tetapi ini terlalu cepat untukku menerimamu menjadi orang yang memanggul beban hidup kita. Apalagi aku juga belum tahu namamu.”
Wajahku terasa panas. Namun, kuberanikan diri menyentuh kedua pipi Alea. “Aku hanya akan memanggulmu secara harfiah. Bukan menjadikanmu istriku, Alea.”
Kulepas telapak tanganku dari kedua pipinya. “Aku akan mengatakan namaku setelah kamu menceritakan alasanmu mencari buku ini. Sepakat?”
Kujulurkan tanganku ke arahnya. Pipinya kembali membulat sejenak lalu tangannya menjabat tanganku. Akan tetapi, wajahnya ikut mendekati wajahku dan sejurus kemudian bibirnya kembali menempel pada bibirku. Kali ini dia memagut bibir bawahku. Aku berusaha untuk melepaskannya, tetapi bibir, tubuh, pikiran, dan hatiku serasa tak ingin melepaskannya. Kami kini terikat dalam pelukan dan bibir kami masih menempel.
Kulepas bibirku dari bibirnya untuk menghela nafas. Kami setengah berpelukan, hanya bagian dada ke atas saja yang tidak menempel satu sama lain. Dadaku merasakan gejolak dan debaran darah yang begitu tinggi, entah diriku sendiri atau dari Alea yang kini wajahnya sepenuhnya memerah dan tampak terengah-engah.
“Kurasa kamu hanya suka menggoda saja ya, Alea? Belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya kan?”
Dia menundukkan tatapannya dan mengangguk perlahan. “Aku tak menyangka kamu begitu pandai berciuman.”
Aku terkekeh. “Oke, sekarang kamu naik ke atas pundakku.”
Aku berjongkok dan menuntunnya untuk duduk di atas pundakku. Kurasakan kakinya masih sedikit bergetar saat dia naik di atasku.
“Fokus, Alea, fokus!” bisikku. Jemari tangan kirinya menjambak rambutku seperti menjaga keseimbangannya.
“Ke kanan sedikit!” bisiknya. Aku bergeser dan tubuh Alea terus bergoncang.
“Cepatlah, Alea. Aku sudah tidak kuat!”
“Aku tidak segemuk itu, tau!” kakinya mengencang dan hampir-hampir mencekikku. Aku terus berusaha memeganginya dan menjaga keseimbangan. Punggungku serasa akan patah. Selama ini, aku selalu membanggakan diri sebagai siswa dengan nilai terburuk dalam ujian kekuatan fisik karena nilai ujian kekuatan yang lain sudah sangat cukup memenuhi kebutuhanku sebagai siswa akademi terbaik. Namun, tak pernah kusangka akan menemui masa-masa seperti ini. Dan, yang kukhawatirkan pun terjadi. Kakiku sudah tak mampu menahan kami berdua. Aku jatuh terduduk dan Alea menimpaku. Sebuah buku berada di pangkuannya.
“Kamu jahat!” gerutunya. “Beraninya kamu bilang aku gendut!?”
“Kapan aku bilang kamu gendut? Aku hanya bilang kalau aku sudah tidak kuat menahan tubuhmu.”
“Bagaimana bisa seorang pria tidak kuat memanggul seorang wanita kalau si wanitanya tidak gendut?”
“Tubuhmu proporsional kok. Aku menyukainya.” Matanya berbinar.
“Kamu menyukaiku? Kamu melamarku?”
Alea mendekatkan wajahnya lagi bersiap akan menciumku lagi, tetapi tiba-tiba dia berhenti. Wajahnya lebih merah dari setelah ciuman kami yang sebelumnya.
“Kamu nakal. Tetapi aku belum pernah melakukan hal yang itu.” Dia menarik tangannya sambil mendekap buku pengendalian darah yang sudah diambilnya tadi. Aku tertegun dan merasakan ada kesesakan pada bagian bawah tubuhku, tepat di antara tulang duduk Alea.
“Astaga!! Maaf!! Aku tidak sengaja.”
Gadis itu terdiam dengan wajah tetap memerah. “Apakah kamu mencintaiku?”
“Entahlah. Kamu tidak pernah bercerita tentang dirimu. Bahkan alasanmu datang ke sini pun belum kamu katakan.”
Alea menghela nafas sambil menyingkap rambut di telinganya. Lalu dia mulai bercerita tentang tujuannya mengambil buku itu dan kehidupannya dengan sedikit berbisik. Sesekali sedikit air mata mengalir dan langsung diusapnya. Aku merasa kejujuran dari sorot matanya, tetapi kurasa juga ada banyak hal yang janggal dari ceritanya. Apakah dia sedang dipaksa melakukan hal ini?
“Jadi, kamu terpaksa menyelinap malam ini karena kalah taruhan?”
“Iya. Ketimbang tanpa busana keliling akademi.”
“Sedari tadi, kamu bilang tentang akademi di luar Tembok. Aku juga berasal dari luar Tembok, dari bagian manakah dirimu?”
Dia tampak terkejut mendengar pertanyaanku. “B-Bagian timur.”
Aku tersenyum kecut. Bohong! Tembok luar sebelah timur hanya ada kebun buah-buahan dan tidak ada akademi di sana.
Negara kota Aresta berpusat di Istana Leira dan dikelilingi dengan tembok tinggi. Hampir seluruh penduduk berada di dalam tembok istana dengan kepadatan yang semakin tinggi ke arah tembok luar. Semenjak kejatuhan Raja Gandar yang berobsesi menguasai seluruh dunia hanya dengan mengirimkan delapan orang Ksatria dan kedelapan orang itu juga yang menjatuhkannya, sudah tidak ada lagi pembagian kasta penduduk di dalam tembok. Semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut pandangan Raja Villena.
Di luar tembok sebelah barat merupakan tempat latihan Akademi Ksatria, tempat para Legenda Delapan Ksatria dididik dan dilatih hingga melebihi batas kemampuan manusia. Kudengar mereka berdelapan awalnya dihina karena kesemuanya berdarah campuran, tetapi mereka menjadi dielu-elukan setelah berhasil membuktikan bahwa raja telah bersekutu dengan setan. Ayolah, zaman sekarang mana ada yang tidak bersekutu dengan setan? Apalagi yang bernama UANG!
Di luar tembok sebelah selatan hingga sebelah timur dikhususkan untuk para petani dan peladang sebagai pemasok utama sayur-sayuran dan buah-buahan penduduk. Baru dibangun pada pemerintahan Raja Villena atas saran Legenda Delapan Ksatria bekerja sama dengan Negeri Petani, Namiria, atas jasanya membantu Legenda Delapan Ksatria. Dua tahun dimulai proyek pembangunan, sudah muncul banyak tuan tanah yang berusaha memeras para petani dan peladang yang ingin memasukkan anaknya di Akademi Ksatria atau Akademi Sihir, meskipun anak-anaknya tidak menginginkannya.
Sebelah utara tembok hanya ada hutan belantara dan semak belukar. Seluruhnya diserahkan pada bangsa Peri, bangsa yang telah membantu para Legenda Ksatria dalam mengalahkan tirani di Aresta. Atau itulah yang dipercaya seluruh penduduk Aresta.
Tunggu dulu, dia bernama Evelynn? Nama yang hanya digunakan oleh bangsa Peri setelah bermetamorfosis. Jangan-jangan dia-
“Kenapa kamu tiba-tiba diam saja? Kamu tidak memercayaiku ya?” tanya Alea.
“Aku hanya merasa – “ Aku menelan ludahku, “ – untuk segera mempelajari buku itu. Bolehkah aku membukanya?”
“Silakan.” Dia mengulurkan buku bersampul merah gelap itu. Begitu ringan dan ada sebuah kalimat dengan tulisan Aresta kuno di bagian sampulnya, tepat sebelah segel pengunci berlambang air.
SIAPKAH KAU MENERIMA TANGGUNG JAWAB DAN PENGLIHATAN YANG TIDAK SEHARUSNYA KAU LIHAT?
“Apa maksudnya itu?” tanya Alea.
“Kurasa apabila kita menjadi pengendali darah dan pikiran, kita akan dapat melihat pikiran orang lain.”
Pendengaranku menangkap langkah kaki mendekat.
“Sepertinya kita harus pindah dari tempat ini.”
Alea segera berdiri dan membenahi pakaiannya. Kugamit buku itu dan menarik Alea berpindah dengan tanpa suara. Aku mengintip lagi dari balik buku tebal dan tiba-tiba kurasakan uap air terasa lain.
“Kita harus cepat berpindah, Alea, kita sudah terdeteksi penjaga. Dan, aku tahu di mana tempat yang aman. Cepat!” Kami berjalan dengan setengah berlari menuju tempat yang kurasa paling aman. Ruang jaga perpustakaan.
Lagipula sepertinya salah satu atau para penjaga itu sudah melakukan pengendalian tertinggi yang dijadikan syarat menjadi penjaga, Deteksi Bumi. Mereka tak bisa lagi menggunakan Deteksi Bumi setidaknya semalam. Namun, aku masih khawatir dengan Guru Baruna. Sebagai guru Pengendalian Air, tentu saja dia lebih kuat dariku, seorang pengendali air kutu buku yang jarang berlatih fisik. Tenagaku pasti tidak akan mampu menyaingi kemampuan Guru Baruna. Dan, ia belum mengeluarkan Jurus Deteksi Uap Air untuk mencari kami.
Seperti dugaanku, ruang jaga kosong. Tentu saja, penjaga perpustakaan pun punya kehidupan. Beda denganku yang hanya memiliki buku sebagai kawanku. Kami mencari persembunyian. Aku melihat sebuah tempat yang sangat aman. Dan, kami berdua segera memasukinya.
“Emm, haruskah berada di sini?” tanya Alea ragu. Dia menggigit bibir bawahnya.
“Diamlah, Alea. Aku perlu fokus untuk membuka segel ini. Tenangkan dirimu!” balasku.
“Meskipun mungkin aku akan menikmatinya, haruskah buku ini berada di atas dadaku? Dan, haruskah kita berada di peti mati ini?”
“Kita tak punya pilihan lain, Alea. Ini tempat teraman. Kotak ini hanya dibuka setiap ada pengantaran buku baru yang akan dipasangi segel. Sekarang tolong bantu aku.”
“Tapi, kamu menindihku. Benda itu sangat kencang sekarang dan kini menempel erat di antara pahaku.”
Aku berusaha tak mengindahkan perkataannya. Kubaca lagi tulisan di sampul itu dan mempertimbangkan peringatan buku itu.
Kuhela nafas dan berusaha mengumpulkan seluruh uap yang tersedia di antara kami. Sayang, tak cukup air untuk kukendalikan. Aku mendengus.
“Ada apa?” tanya Alea, kini nafasnya kian memburu.
“Tak cukup air untuk kukendalikan. Seandainya aku membawa kantung minumku.”
“Aku punya ide cukup gila. Sangat gila mungkin. Tapi kurasa akan banyak air yang bisa kamu kendalikan.” Jemari rampingnya kini terasa di antara pahaku.
“Apa kamu gila? Kita baru saja kenal! Bahkan aku tidak tahu asal usulmu!” pekikku.
Kurasa, bisikku dalam hati.
“Sepertinya aku memang sudah gila. Tapi aku berani bersumpah bahwa aku belum pernah disentuh siapa pun sebelumnya. Ciuman-ciuman tadi sebenarnya hanya hasil keingintahuanku akibat sering membaca buku yang tak seharusnya kubaca.”
Alea terdiam sejenak, dalam temaram air bercahaya yang kubuat, kulihat dia kembali tersipu, sebelum akhirnya berkata kembali, “Tapi aku yakin itu satu-satunya cara agar ada cukup air untuk membuka segel itu.”
Aku terdiam. Mungkinkah ini maksud TANGGUNG JAWAB dari kalimat tadi?
Alea berusaha mengangkat kedua lengannya dari bawah tubuhku dan memelukku.
“Kurasa aku menemukan rumah bagi hatiku. Tetapi, apakah kamu juga mencintaiku?”
“Tetapi saya belum memberitahukan nama saya, Tuan Putri Eva.” Aku melihat wajahnya terkejut.
“B-bagaimana kamu tahu kalau ini aku? Aku jarang bertemu dengan orang di luar Istana Leria.”
“Kebohongan soal tembok timur, bacaan-bacaan yang tak seharusnya, dan nama samaran yang Anda pakai.”
“Nama samaranku?”
“Alea Evelynn. Hanya bangsa peri yang mempergunakannya dan itu tidak mungkin dipergunakan oleh bangsa lain. Lalu tadi sewaktu di pos jaga, kulihat namamu ada di bagian penasihat perpustakaan. Aleana Evalynn Villena. Maafkan saya, Tuan Putri, perkenalkan nama saya Haruna Wisesa.”
“Aku tak akan memaafkanmu apabila kamu memanggilku tuan putri. Aku tidak meminta dilahirkan sebagai putri. Aku ingin mencintai dan dicintai sebagai diriku. Bukan sebagai putri raja.”
Aku terdiam. Dia kembali memelukku erat.
“Entah mengapa darahku terpompa lebih cepat dari biasanya saat ini. Jantungku begitu berdebar. Namun, rasanya diri ini nyaman ketika memelukmu, apalagi saat menciummu. Apalagi mungkin, umm, apabila kita menyatu? Tapi pertanyaannya, apakah kamu mencintaiku? Sebagai Alea, bukan Putri Aleana.”
Aku terdiam untuk menyusun kalimatku. “Apabila Anda bisa memberikan alasan yang tepat mengapa saya harus membuka buku ini, mungkin saya akan mempertimbangkannya. Hukuman yang mungkin saya terima akan sangat berat. Menyembunyikan seorang putri dan juga kutukan dari buku ini. Jadi, saya perlu alasan yang sangat kuat untuk bisa mengorbankan semuanya termasuk nyawa saya.”
Alea ganti terdiam. “Aku tak tahu harus mulai dari mana, tapi intinya aku pernah mendengar rumor bahwa satu-satunya pengendali darah di negeri ini akan melakukan pemberontakan. Ayahku hanya tertawa meremehkan laporan itu dengan mengatakan bahwa tidak mungkin ada alasan untuk melakukan pemberontakan di masa pemerintahannya, setelah semua yang beliau lakukan. Beliau mengatakan bahwa dia dipilih oleh seluruh Legenda Ksatria Delapan dan mereka adalah penasihat beliau, dan beliau yakin semua keinginan penduduk telah beliau penuhi. Tetapi beliau tidak tahu bahwa aku akan dijadikan umpan oleh salah seorang Guru di sini untuk mengaktifkan kemampuan itu pada salah satu murid yang diharapkan bisa memimpin untuk melawan pengendali darah itu.
“Aku melarikan diri dari Istana dan ingin mencuri buku itu setelah melatih kemampuan bayanganku. Tetapi para penjaga itu ketahuan saat masuk ke perpustakaan dan saat itulah aku bertemu denganmu di bilik baca. Jujur, aku berusaha kuat untuk tidak terlihat canggung di depanmu karena ini pertama kalinya aku bertemu dengan lelaki seumuranku tanpa ada pengawalan.”
“Anda sama sekali tidak terlihat canggung. Hanya terlalu agresif.” Aku terkekeh. Dia turut tersenyum.
“Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu. Tanpa ada yang ditutupi. Kini jawablah pertanyaanku. Apabila kamu mencintaiku, aku akan berusaha membantumu dalam membuka segel dan tolong hilangkanlah keformalan di antara kita. Aku juga tak akan memohon kepadamu.”
Kutatap matanya dengan lekat. Pendaran cahaya yang kubuat sudah meredup, cahaya yang ada hanya berasal dari sela-sela kotak kayu di sekitar kami, menampilkan sorot wajah yang sendu. Kali ini, gadis ini berkata jujur. Dan, entah bagaimana aku ingin menjadikannya permaisuriku.
“Maukah kamu membantuku dan menemaniku di sisa hidupmu?” tanyaku. Dia mengangguk perlahan. Kuletakkan buku itu di samping kepalanya. Kutatap erat matanya dan menciumnya sekali lagi. Tangan kami saling membuka ikatan dan kaitan busana di tubuh kami, lalu saling mengusap dan mengelus satu sama lain. Ikatan busana kami terlepas tapi ikatan hati ini menyatu. Beruntung, kotak ini cukup tinggi sehingga Alea dapat menekuk kakinya dan membantuku untuk melepaskan celana Alea dan celanaku. Aku sudah merasakan kehangatan yang lain dari tubuh Alea dari ujung bagian tubuh sensitifku.
“Aku mencintaimu, Alea,” bisikku saat tubuh kami mulai menyatu satu sama lain. Desah dan lenguh tertahan. Dan, sesuai perkiraan Alea, banyak keringat yang bercucuran di tubuh kami. Berkumpul menjadi satu di atas permukaan kulit Alea yang halus. Namun, aku seperti tersihir dengan kenikmatan ini. Aku tak bisa menggambarkan kehangatan yang sedang kurasakan. Alea tak memberikan perlawanan selain mendesah lembut sambil menggigit sebagian bibir bawahnya dan sedikit menggerakkan panggulnya. Begitu lembut dan begitu hangat. Kehangatan menerpa seluruh tubuhku saat aku merasakan akan ada ledakan dari panggulku. Namun, kaki Alea tiba-tiba mengikat panggulku untuk tetap berada di tempatnya.
“Bi-biar-kan saja, Haruna. Kalau kamu keluarkan di luar tubuhku, akan ada bukti di kotak ini,” kata Alea terbata-bata. Dan, tiba-tiba ikatan kaki Alea di pinggulku dan denyutan tubuh Alea mengikatku dengan sangat kuat. Punggungnya sedikit melengkung ke atas dan jemarinya menggenggam lenganku dengan kuat. Memaksaku untuk melesakkan kehangatan yang lain ke dalam tubuhnya.
“Cepat, gunakan keringat ini untuk membukanya, Haruna. Apakah cukup?” bisik Alea lemah.
“Semoga saja. Ini cukup banyak.”
Kuambil buku pengendalian itu dan meletakkannya di atas dada Alea yang terpapar. Dengan tangan kanan, kukumpulkan cairan keringat itu dari tubuh kami dan kuarahkan ke segel pengunci. Terdengar bunyi klik perlahan.
“Kita berhasil, Alea. Tapi ini terlalu banyak.”
Dia mengangguk lalu tersenyum genit, “Apalagi yang masuk ke dalam tubuhku, Haruna. Kehangatanmu menjalar ke seluruh tubuhku.”
Aku terkekeh pelan dan membuka buku itu. Ternyata buku itu bukan buku yang kukira. Sampul tebal dan segel itu hanya membuatnya menjadi semacam kotak. Di dalamnya hanya ada secarik kertas. Aku berusaha membuat lagi air pendar dari sisa cairan yang kugunakan untuk membuka segel.
Lakukan apa yang masih kau lakukan, dan tetap lakukan apa yang kau percaya perlu dilakukan. Kau telah berhasil membuka segel buku ini dengan air yang berasal dari manusia. Dan manusia pada dasarnya hanyalah sebuah kantong air. LOL
Fokuslah dengan apa yang kau ingin lakukan, karena pengendalian ini memerlukan banyak pengetahuan tentang fokus.
Tetapkanlah tujuanmu dan gunakan pengetahuan ini sebaik mungkin yang kau mampu karena pengetahuan ini akan membawamu menuju kehidupan atau kematian.
Saat kau tutup lagi buku ini, segel akan tertutup seperti sediakala, tetapi tidak dengan dirimu. Kau sudah menjadi Puppet Master.
-B-
Aku tertegun membaca isinya dan menutup buku itu. Lalu, tiba-tiba ada suara di dalam kepalaku.
-- Apakah kau sudah menerima hadiah dariku, Haruna? Bagaimana keindahan di hadapanmu dan pengetahuan yang aku berikan kepadamu? –
Suara itu terdengar terkekeh.
-- Siapa ini? Bagaimana kamu bisa ada di kepalaku? –
Kutatap wajah Alea yang kini tampak kebingungan. Aku berusaha tersenyum kepadanya untuk menenangkannya.
-- Aku Puppet Master yang diburu karena rumor laknat yang mengatakan bahwa Puppet Master akan melakukan pemberontakan. Namun, aku senang bahwa sudah ada Puppet Master lain di negeri ini. Dan, Puppet Master memerlukan kotak sebagai rumah untuk semua koleksinya. Karena itu, aku sengaja mengirimkan hadiah ini untukmu untuk kau jadikan rumah atas hatimu, karena aku tahu bakat dan potensimu. –
-- Aku hanya kutu buku biasa, Tuan Puppet Master. –
-- Tidak. Bagaimana mungkin seorang kutu buku biasa, tanpa berlatih dengan disiplin dapat menguasai seluruh ilmu pengendalian elemen tubuhnya dan turunannya? Kekuatanmu mungkin bukan dilatih dengan fisik. Tetapi aku percaya kau bisa memperkuat dirimu meski hanya berlatih di dalam alam pikiranmu. Itulah kekuatanmu dan karena itulah aku mengirim gadis ini padamu untuk membantumu. –
-- Apa maksud Anda, Tuan? –
-- Aku sudah terlalu tua untuk ikut berperang. Saatnya kau menjadi bintang timur bagi sukumu. Isu pemberontakan telah meracuni pikiran Sang Raja, juga gadis di hadapanmu. Sekitar dua purnama lagi, pasukan kerajaan akan dikirimkan untuk membersihkan suku air dari pengendali darah. Mungkin aku akan mati saat itu, tetapi saat aku mati, seluruh kekuatanku akan terkirim kepadamu. Gunakan sebaik-baiknya. Jaga gadis itu dan jadikan negeri ini menjadi negeri yang benar-benar diharapkan oleh para Legenda Delapan Ksatria. –
Suara itu menghilang. Alea menangkupkan telapak tangannya di wajahku dan mendekatkan ke arah wajahnya. Dia kembali menciumku dan menggerakkan pinggulnya dengan bagian sensitifku masih berada di dalam tubuhnya. Entah berapa kali kami melakukan itu dan aku sama sekali tidak mendengar suara penjaga dari luar kotak. Atau itulah yang kukira.
---
Tepukan lembut mendarat di pundakku. Menyadarkanku dari kilasan-kilasan yang seringkali muncul di pikiranku. Refleks tanganku mengepal dan mengarah ke penepuk pundakku. Namun, gerakannya lebih cepat.
“Sudah kukira kamu akan melakukan itu, Sayangku. Untung aku mempergunakan bayangan saja.”
Di belakangku berdiri seorang wanita terkekeh sambil mengusap perutnya yang membuncit. Terlihat di sekitarku orang-orang dengan berbagai warna ikat kepala yang sedang tertidur dengan berbagai posisi.
“Sudah kubilang jangan pernah mengagetkanku lagi, Alea. Segala omong kosong soal perang ini telah membuat tubuhku memiliki insting membunuh. Hampir saja, aku membuatmu melahirkan sebelum waktunya,” ujarku menggerutu.
“Aku minta maaf soal hal itu, Sayangku. Akan tetapi, apakah keputusanmu meninggalkan Aresta telah memberikan luka di hatimu?”
“Mengapa kamu bertanya seperti itu?”
“Kamu nampak begitu … terluka, sedih, dan terpukul.”
“Tidak. Aku hanya menyesal mengapa tidak melakukan hal ini sejak dulu. Sudah terlalu banyak korban di kedua belah pihak. Perang ini justru semakin memberikan citra negatif pada suku Pengendali. Dan, aku sedih telah melibatkanmu sehingga kamu harus meninggalkan semuanya.”
Wanita itu mendekat. Wajahnya masih secantik saat aku pertama kali bertemu dengannya. Kali ini, sorot matanya lebih teduh dan tenang dibandingkan saat itu. Dia menangkupkan tangannya di wajahku, dia menatapku dengan lekat.
“Meskipun aku tidak menyangka bahwa semuanya hanyalah rekayasa orang-orang di sekitar orang tuaku, tapi aku sudah melepaskan semuanya saat berada di dalam kotak itu bersamamu. Posisiku, jabatanku, hartaku, semuanya. Karena menurutku, di manapun kita merasa nyaman, di sanalah rumah kita. Dan, seperti yang kukatakan saat itu kepadamu, aku merasa nyaman di dekatmu. Kamulah tempat hatiku beristirahat. Dan, kini – “
Alea menatap ke sekelilingnya.
“Aku harus mencarikan rumah bagi mereka. Apa pun yang terjadi,” sambutku sebelum tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dari luar dan suara ledakan. Kereta terlempar. Kupeluk Alea dengan erat dan melingkupinya dengan perlindungan kristal es. Kereta terbelah dan sekilas kulihat para pengendali logam yang berjaga dan membawa kami ke luar Aresta terlempar ke beberapa arah.
“Sial! Kita telah diserang!”
0 comments:
Posting Komentar